REL,BACAKORAN.CO – Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 terus menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini berdampak buruk pada daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
Kenaikan tarif ini diprediksi akan memicu penurunan harga barang dan jasa, menekan daya beli masyarakat, serta memperlebar kesenjangan sosial. Banyak pihak yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan kebijakan tersebut demi melindungi kesejahteraan rakyat.
BACA JUGA: Tesla Cybertruck Bocor Oli, Pemilik Mengeluh: Belum Sempat Digunakan, Sudah Bermasalah
BACA JUGA: Penyaluran PKH Dituding Tak Tepat Sasaran
Kemudahan Pengubahan Kebijakan
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai bahwa mengubah kebijakan ini sebenarnya tidak sulit. Menurutnya, Presiden Prabowo memiliki dukungan penuh dari DPR, termasuk dari partai-partai yang beranggotakan utama seperti PDI-P.
“Kalau Presiden mau, tinggal ajukan inisiatif perubahan ke DPR. Dengan mayoritas DPR yang solid mendukung pemerintah, perubahan bisa dilakukan dengan cepat,” ujar Adi pada Kamis (26/12/2024).
UU HPP sendiri membuka opsi mengerikan tarif PPN, yang dapat diatur antara 5 persen hingga 15 persen melalui Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini berarti, pemerintah memiliki landasan hukum untuk membatalkan atau menyesuaikan kenaikan tarif tanpa perlu merevisi undang-undang.
BACA JUGA: Wajib Diketahui, Ini 11 Penyedap Rasa Alami Pengganti MSG yang Ada di Dapur
BACA JUGA: Heboh Kabar Prabowo Lantik Jadi Jaksa Agung, Mahfud MD Beri Jawaban Tegas!
Kritik Kebijakan
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Wahyudi Askar, turut menyampaikan kritik terhadap pemerintah yang tetap memaksakan kenaikan PPN. Ia menilai bahwa pemerintah seolah membohongi publik dengan dalih bahwa kenaikan ini adalah amanat undang-undang.
UU HPP memberikan opsi perubahan tarif. Jadi, argumen bahwa amanat undang-undang ini tidak benar. Pemerintah sebenarnya bisa membatalkan kebijakan ini jika ada kemauan, tegas Wahyudi.
Ia juga mengkritik paket insentif yang diumumkan pemerintah untuk mengurangi dampak kenaikan PPN. Menurutnya, insentif tersebut seharusnya menjadi kewajiban pemerintah tanpa perlu ada kenaikan PPN.
“Paket insentif itu bukan solusi atas kenaikan tarif. Pemerintah justru menambah beban masyarakat dengan kebijakan yang kontraproduktif,” ujarnya.