Kelas Menengah

Ilustrasi penumpang commuter line yang selama ini banyak menjadi andalan moda transportasi kelas menengah.--

Oleh: Dahlan Iskan 

Bahasan paling hangat di kalangan intelektual sepanjang pekan lalu adalah Muhamad Chatib Basri. Menteri keuangan selama 1,5 tahun di akhir masa jabatan Presiden SBY itu menulis di Kompas.

Intinya: jumlah kelas menengah di Indonesia turun. Terus menurun. Sejak tahun 2019. Sampai tahun lalu.

Itu lampu kuning yang bukan hijau. Negara akan kuat kalau kelas menengahnya terus membesar. Ini justru turun.

Kelas menengah yang dimaksudkan Chatib adalah orang yang pengeluarannya antara Rp 1,9 juta sampai Rp 9,3 juta/bulan.

BACA JUGA:Jokowi Tak Tidur Nyenyak di IKN Alasan Tempat Baru, Infrastruktur Hampir Rampung

BACA JUGA:Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Lintas Sumatera, Dua Penumpang Mobil Suzuki Grand Vitara Meninggal Dunia

Dengan patokan garis kemiskinannya adalah yang pengeluarannya Rp 550.000/bulan ke bawah. Yang berada di antara itu adalah mereka yang tergolong rentan miskin. Di atas rentan miskin masih ada calon kelas menengah.

Penurunan jumlah kelas menengah tentu mengagetkan. Rupanya inilah jawaban ilmiah mengapa para pengusaha merasakan lesunya pasar. Juga menurunnya daya beli. Sepinya dagangan.

Para pembela pemerintah tentu mudah cari penyebab yang halal: Covid-19. Itu memang betul. Tapi jangan juga sebatas  itu. Penurunan tersebut, tulis Chatib, sudah terjadi sejak tahun 2019: sebelum Covid.

Tahun 2019 jumlah kelas menengah turun dari dari 23 persen menjadi 21 persen. Tahun 2023 turun lagi jadi 17 persen.

BACA JUGA:Pelaku Pencurian Barang Berharga Mahasiswa KKN Ditangkap, Rekan Masih DPO

BACA JUGA:4 Sekawan Tak Berkutik Kena Gerebek Polsek Gelumbang

Angka penurunan di kelas menengah itu masuk ke kelompok calon kelas menengah. Karena itu jumlah calon kelas menengah naik –meski pun sebagiannya juga turun ke kelompok rentan miskin.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan