Titik Pulang
Dahlan Iskan foto bersama para peserta diskusi di SF.—--
Dia mendirikan yayasan untuk mendatangkan mahasiswa unggul dari Indonesia untuk masa depan negara. Juga Dian, teman Ari yang di Houston, Texas.
Atau juga Marissa, alumnus SMA St Louis Surabaya yang di San Bruno itu. Dia bukan saja sebuah titik tapi juga titik yang mampu menambah satu titik lagi di MIT dan Afrika Selatan.
"Diaspora adalah titik-titik. Satu diaspora satu titik. Ada titik besar, ada titik kecil. Titik-titik itu kelak akan terhubung antar titik. Jadilah jejaring laba-laba. Titiknya sendiri mungkin kecil-kecil tetapi jejaring itu menjadi sangat lebar, lentur dan kuat".
Biarlah Anda tidak usah tahu siapa yang kembali mengucapkannya di akhir diskusi.(Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Disway Edisi 9 November 2024: Tawaduk Thinking
Wilwa
Sebuah negara yang tidak menguasai science dan technology dapat dipastikan, cepat atau lambat, akan menjadi kuli atau budak negara yang menguasai science dan technology. Hanya menjadi negara konsumen atau negara yang menjadi target pemasaran produk teknologi tinggi dari negara yang menguasai science dan technology. Dan malangnya RI adalah salah satunya. Terjajah oleh barang atau produk impor. Tiongkok beda. Membujuk investor invest. Lalu mereka memasarkan produk ke global maupun lokal. Bedanya Tiongkok berhasil alih teknologi. Tiongkok tak mau selamanya menjadi kuli atau budak negara lain. Mungkin karena mereka pernah dijajah dan ditindas Barat dan Jepang pada masa kemunduran Dinasti Manchuria Qing. Mereka bangkit. Melawan. Hingga kini semangat itu terus digelorakan melalui lagu kebangsaan mereka. Yang pada syair pertamanya saja sudah jelas: 起来,不愿做奴隶的人们!Bangkitlah, wahai orang-orang yang tak mau menjadi budak! Hmmm
djokoLodang
BACA JUGA:Mitos Pohon Dewandaru di Gunung Kawi: Pohon Kesabaran yang Mendatangkan Kekayaan
BACA JUGA:Mengulik 6 Tradisi Paling Unik dari Berbagai Wilayah di Dunia, Ada Pemotongan Jari di Indonesia!
.. Siapa bilang siswa Indonesia jarang bertanya? Kayaknya sih, ,,,, seriing sekali. ... * Bertanya kepada siapa? Kepada hp nya
Sri Wasono Widodo
Cara yang ditempuh Prof. Dr. Sutiman pernah Saya praktikkan di suatu daerah remote wilayah Indonesia. Saat pelatihan bidang pendidikan. Setiap ada peserta bertanya, apa pun pertanyaanya Saya beri tambahan nilai. Ternyata respon peserta antusias. Diawali dari peserta seorang Ibu: "Eee Bapak, mau betanya, penjelasan barusan mohon diulang". Saya pun bertanya nama Beliau untuk Saya beri tambahan nilai, lalu menjelaskan ulang bahasan yang baru Saya sampaikan. Usai penjelasan tersebut, ada peserta lain tunjuk jari, dan ternyata pertanyaannya sama persis. Demikian berulang sampai tiga kali. Akhirnya sesi bertanya terpaksa Saya tutup.
Achmad Faisol
Sebenarnya bukan masalah sopan santun, tawadhu', jangan seperti bani Israel, dll... lebih kepada yang ditanya siap menerima pertanyaan/tidak...? yang ditanya siap memberi jawaban/tidak...? yang ditanya siap berargumentasi/tidak...? ini contoh... saya mengajari anak kritis sejak kecil... berikut ini contoh pertanyaan dan kadang ada sanggahan dari anak saya... 1. anak saya MI (SD)... saya: buku ski (sejarah kebudayaan islam) dibaca biar ngerti... anak: males, yah... pertanyaannku aku cari jawabannya ga ada di buku... saya: apa pertanyaannya...? anak: Allah usianya berapa...? 2. anak saya SMP kelas 7 saya: mau lomba ya belajar, latihan, biar menang... anak: kan rezeki sudah diatur Allah, ya... buat apa latihan... anak kritis akan mengejar pertanyaan hingga pikirannya puas... jika perlu ke ujung dunia... maka, siapkah yang menerima pertanyaan anak kritis... wong lagi ramai di youtube, seorang tokoh bilang "wong gobl*k ga usah takon dalil..." padahal, kalau saya lihat latar belakang dan cara pengucapannya, itu menunjukkan orang itu ga ngerti... dia takut ga bisa jawab sehingga menggunakan kekuasaan dengan kata kasar...