Dangkal Dalam
John dan Chris Mohn (pojok kiri dan kanan) bersama seorang pasangan suami istri yang selama ini menjadi sahabat mereka.—--
"Asia rasanya senang dengan kemenangan Trump. Ada jaminan tidak akan ada perang lagi," kata saya.
"Bagaimana dengan Tiongkok?" tanya John yang pernah saya ajak ke sana.
"Rasanya Tiongkok juga senang," jawab saya ngawur. "Secara tradisional Tiongkok lebih sulit ketika yang berkuasa di sini Demokrat."
Demokrat lebih mempersoalkan demokratisasi, hak asasi, dan sangat anti totaliter.
Saya tidak ingin melihat reaksi mereka. Saya lari menuruni tangga. Saya harus ingat kepentingan utama saya datang ke rumah John: menyerahkan novel yang ia tulis yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Sudah terbit di Indonesia. Penerjemahnya Anda sudah tahu: Naksin Alhad.
Saya ambil dua novel tebal dari tas saya. Saya serahkan ke John. Juga ke Chris, istrinya. Yang dua orang tidak saya beri. Mereka tak akan bisa membacanya.
Maka pembicaraan pun pindah ke soal novel itu. John berbinar-binar. Sambil menceritakan perjalanannya lebih 10 kali ke Indonesia --mulai Jambi sampai Wamena.
John juga punya kejengkelan lain selain pada Trump. Di novel itu ia menulis soal demokrasi, kebebasan, dan bahayanya totalitarian. Harapannya, waktu itu, Indonesia segera jadi negara demokrasi.
"Berarti Anda harus juga menulis novel seperti ini untuk Amerika," kata saya. John dan Chris tertawa. Baguslah. Sudah bisa tertawa.
"Baiknya Anda segera move on," kata saya lagi.
Keesokan harinya si dokter melihat saya sedang move on: senam-dansa. Sendirian. Di lantai bawah. Di dalam ruangan. Saya tidak berani senam outdoor di teras atas atau di halaman. Dingin sekali.
"Ikut saya," katanya.
"Ke mana?"
"Jalan kaki. Lima kilometer. Saya tiap hari jalan kaki sejauh itu."
Saya pun ambil jaket Persebaya model baru. Lebih tebal. Cocok untuk cuaca musim gugur.