Tafsir Iqra Oleh: Dahlan Iskan
Ketika ngobrol bersama para mahasiswa PTIQ yang sedang belajar di Hartford University.—--
Setengah jam kemudian datang lagi dosen juga. Laki-laki. Juga mengajar di Yale. Dua dosen universitas papan atas Amerika ikut hadir. Seharusnya mereka saya catat satu per satu agar bisa disebut semua.
Anda sudah tahu apa itu PTIQ –Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran. Di Jakarta selatan. Atau selatannya Jakarta. Saya belum pernah ke sana.
Saya tanya mereka dari jurusan apa saja. Jawab mereka sama: jurusan tafsir Quran.
"Sejak ada ilmu tafsir terjadilah kekacauan..," gurau saya menyambut para calon ahli tafsir itu.
Semuanya ikut tertawa. Salah satunya segera berubah wajah menjadi serius, lalu bertanya: kenapa begitu.
"Itu guyon," jawab saya. "Tapi boleh juga Anda dalami apakah benar di zaman Nabi Muhammad dan di zaman sahabatnya belum ada ilmu tafsir. Dengan demikian saat itu orang menjalankan agama bukan berdasarkan tafsir salah satu ahli agama. Yang lalu bingung ketika ahli lain menafsirkan ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda".
Maka diskusi pun berlangsung. Relevan dengan keilmuan mereka.
Daeng ikut bicara. Rumahnya sering untuk pertemuan warga Indonesia. Sering juga untuk diskusi para pemeluk agama yang berbeda. Kadang pertemuan didahului dengan doa secara Islam. Daeng yang berdoa. Kadang secara Kristen. Pernah juga doa dipimpin oleh yang beragama Yahudi.
Nama lengkap Daeng: Mohamad Saleh Mude. Tidak usah ditebak orang mana: pasti Makassar. Istrinya pandai bakar ikan tapi juga pandai bikin soto: pasti bukan Makassar. Dia campuran ibu Sunda ayah Tionghoa.
Daeng sudah empat atau lima tahun di Hartford University. S-2 nya sudah selesai, kini lagi di S-3.
Di HU memang ada kajian antar agama. Ada dua ahli Islam yang beragama Islam. Dari Pakistan (suni) dan dari Parsi (syiah). Masih banyak lagi ahli Islam yang bukan Islam.
Di samping kuliah, Daeng juga jadi aktivis. Di depan pintu rumahnya ada plakat Black Lives Matter. Ia juga yang berjuang agar HU mau bekerja sama dengan universitas di Indonesia.
Daeng pernah empat tahun jadi tim wapres Jusuf Kalla. Tugasnya notulen rapat di kantor maupun di rumah wakil presiden itu. Lalu pindah tugas sebagai anggota tim audit di PT Pupuk Kaltim.
Sebagai orangnya Pak JK, Daeng bersahabat dengan banyak tokoh. Termasuk Prof Nasaruddin Umar. Beliau adalah rektor PTIQ, Imam Besar Masjid Istiqlal dan kini menjabat menteri agama.
Prof Nasaruddin setuju PTIQ disambungkan ke Hartford U. Jadilah kerja sama itu. Tahun lalu PTIQ sudah mengirim sembilan mahasiswa S-2 ke Hartford U. Tahun ini 12 orang. Ada yang di S-3.