Suka Makan

Suka Makan.--

Maka mereka minta diantar ke mal paling ramai. Lalu mal yang baru. Sama sekali tidak minta diantar ke lokasi selain mal.

Mereka pernah saya ajak makan di resto independen. Di luar mal. Bertetangga dengan perumahan lama, di Dinoyo Surabaya. Larisnya bukan main. Cari tempat parkir pun sulit.

BACA JUGA:Salurkan Bantuan Beras untuk Warga Prasejahtera

Di situ mereka menyenangi masakannya tapi tidak meminati lokasinya. Padahal sudah saya jelaskan: betapa bagus bisnis teman saya itu. Ia mampu membangun resto dua tingkat di atas tanah sewa 15 tahun. Pakai lift. Atas biaya sendiri. Di luar harga kontrak 15 tahun yang dibayar tiap lima tahun. Bayar di muka. 

Mereka tetap pilih buka di mal. 

Sebagai orang asing mereka tidak tahu hukum dan adat di Indonesia. Mereka tidak mau ambil risiko yang di luar perkiraan. Dengan membuka resto di mal urusannya tinggal dengan pemilik mal.

Maka saya ajak mereka ke berbagai mal. Saya tinggalkan mereka di situ. Beberapa jam. Biarlah bebas berimajinasi. Saya tidak mau banyak menjelaskan. Mereka lebih tahu dunia mal dan resto.

BACA JUGA:Manajer Manchester United Kritik Pertahanan

Pada jam yang dijanjikan mereka saya jemput. Pindah ke mal lainnya. 

"Kita makan dulu," kata saya.

"Kami sudah makan. Sudah kenyang. Seluruh resto di mal ini sudah kami coba," tambahnyi. 

Tentu tidak mungkin semua. Saya tahu maksudnya: lebih tiga restoran sudah dicoba.

"Ada kesulitan?"

"Tidak ada," jawabnyi.

Saya khawatir. Awalnya. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi saya sadar: banyak orang Tionghoa di mal itu. Biarlah mereka belajar mengatasi persoalan dasar di negara asing: komunikasi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan