260 Disway

Kerja sama dua grup media, B-Universe dan Disway, (dari kiri) Komisaris Disway Dwi Nurmawan, Dirut Disway National Network Yanto S. Utomo, Komisaris Utama Disway National Network Dahlan Iskan, Wapres terpilih Gibran Rakabuming Raka, Mendagri Tito Karnavia--

Mas Yanto orang Lampung. Anak transmigran yang lahir di sana. Lulus kuliah di sana. Jadi wartawan di sana. Karirnya menanjak: jadi Dirut Harian Radar Cirebon, Cirebon TV, dan banyak lagi. Mas Yanto jadi tokoh Cirebon. Bersahabat dengan tokoh-tokoh asal Cirebon. 

Mas Yanto ingin lari terus. Ia memang pesepeda yang andal –satu tim dengan pesepeda lainnya seperti cucunya Pak Iskan. 

Saya minta padanya, setelah Disway menjadi 260, baiknya tarif napas dulu. Jedah. Setelah itu boleh lari lagi. 

Dalam waktu jedah itulah ternyata ada tawaran kolaborasi. Datangnya dari tokoh asal Cirebon. Ia adalah bos baru grup media nasional yang juga lagi emosi: B-Universe. 

Di dalam grup itu antara lain ada BeritaSatu.com, ada BTV, Investor Daily, Jakarta Globe, dan banyak lagi yang saya tidak hafal semua. 

Kolaborasi itu sangat longgar. Tidak terkait persahaman. Tidak pula saling suntik dana. Kolaborasinya di tingkat operasional. 

Saya terlambat tahu: grup Berita Satu ternyata sudah bukan milik grup Lippo lagi. Sudah dijual total. 

Pemilik barunya Anda sudah kenal: Enggartiasto Lukita. Pengusaha-politisi. Orang Cirebon. Tokoh Golkar yang jadi tokoh Nasdem. Pernah jadi menteri perdagangan. Lahirnya sama-sama saya, tahun 1951 tapi uangnya lebih banyak. 

Tentu saya hadir di acara peresmian kolaborasi itu. Di Hotel JS Luwansa Kuningan Jakarta. Kemarin malam. Ada Mas Gibran Rakabuming Raka di situ. Ada Mendagri Tito Karnavian. Satu meja. 

Kolaborasi ternyata bisa dilakukan tanpa mengancam eksistensi masing-masing. Disway akan tetap Disway apa adanya. Tentu saya tidak tahu akan ke mana grup Berita Satu. 

Aneh. Saya masih bisa melihat bentuk baru media –yang berbeda sama sekali dengan ketika saya memulainya dulu. 

Saya masih ingat zaman itu: bagaimana membuat berita tanpa kertas, tanpa pulpen, tanpa mesin ketik, tanpa komputer. 

Zaman itu saya menulis berita dengan menyusun huruf-huruf yang terbuat dari timah. Tangan berlumuran tinta campur bensin. Kadang tinta itu sampai ke pipi –kalau tanpa sadar harus menepuk nyamuk yang hinggap di pipi. 

Wartawan seumuran saya, di Jawa, tidak akan mengalami teknologi menulis berita paling kuno seperti itu. 

Nikmat apalagi yang masih harus diingkari.(Dahlan Iskan) 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan