Minim Bukti, Empat Remaja Tasikmalaya Divonis Penjara dalam Kasus Pengeroyokan
Minim Bukti, Empat Remaja Tasikmalaya Divonis Penjara dalam Kasus Pengeroyokan--
RAKYATEMPATLAWANG – Empat remaja di Tasikmalaya divonis 1 tahun 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Tasikmalaya atas dugaan kasus pengeroyokan yang terjadi pada 17 November 2024.
Namun, pengacara terdakwa, Nunu Mujahidin, menyoroti proses hukum yang dinilai tidak adil karena minimnya bukti ilmiah dalam penyidikan.
Menurut Nunu, terdapat rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa para terdakwa tidak berada di lokasi kejadian saat insiden pengeroyokan terjadi.
Meski demikian, hakim tetap menjatuhkan vonis berdasarkan hasil penyelidikan yang dinilai tidak menggunakan metode Scientific Crime Investigation (SCI).
Apa itu Scientific Crime Investigation?
SCI adalah metode penyelidikan berbasis ilmiah yang menggunakan bukti objektif seperti analisis forensik, rekaman CCTV, hingga data psikologis.
Metode ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian RI dan Pasal 34 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019. Namun, dalam banyak kasus, metode ini sering diabaikan.
BACA JUGA:Safari Jumat, Pj Bupati Muba Apresiasi Masyarakat atas Kondusifitas Pilkada
BACA JUGA:Pemkab Muba dan Polres Muba Tebar Seratus Ribu Bibit Ikan di Danau Ulak Lia
Menurut Bambang Rukminto, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies, penyidik sering mengabaikan metode SCI karena kurangnya kompetensi, arogansi, dan dorongan untuk menyelesaikan kasus secara cepat. Hal ini menyebabkan fokus penyelidikan hanya tertuju pada pengakuan tersangka tanpa pembuktian ilmiah yang mendalam.
“SCI seharusnya menempatkan pengakuan tersangka sebagai bukti terakhir, setelah bukti ilmiah lainnya dikumpulkan. Sayangnya, hal ini belum menjadi standar yang diterapkan secara konsisten,” ujar Bambang.
Kritik terhadap Proses Hukum
Kriminolog Universitas Indonesia, Erni Rahmawati, juga mengkritisi pendekatan hukum yang lebih mengutamakan *crime control model (CCM), yaitu penyelesaian kasus dengan cepat, dibandingkan due process model yang menitikberatkan pada akurasi dan pembuktian.
Ia menilai, pola pendidikan di institusi kepolisian terlalu menekankan pada pencarian pengakuan tersangka, bahkan dengan cara yang melibatkan kekerasan.