"Penurunan kemiskinan di akhir pemerintahan Jokowi lebih disebabkan oleh program bansos, yang sifatnya hanya sementara. Sementara itu, 23,4 persen masyarakat Indonesia masih berada dalam kondisi rentan," tambahnya.
BACA JUGA:Sediakan 3.000 Paket Sembako Bersubsidi
BACA JUGA:Kebakaran Hebat Landa Pasar Krian, Sidoarjo, Ratusan Kios Hangus Terbakar
Strategi Prabowo: Realokasi Anggaran atau Tambah Utang?
Dalam dokumen Nota Keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2025, pemerintahan Prabowo berencana menarik utang baru sebesar Rp775,9 triliun.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan outlook pembiayaan utang 2024 yang sebesar Rp553,1 triliun.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebutkan bahwa penambahan utang ini akan mengurangi keleluasaan anggaran, memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan realokasi belanja.
"Proporsi belanja bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat dalam 10 tahun terakhir meningkat signifikan, sementara belanja yang lebih produktif seperti belanja modal hanya naik sedikit. Ini tentu bukan situasi yang baik," kata Yusuf.
Ia juga menambahkan bahwa ruang gerak Prabowo dalam menetapkan tambahan anggaran di APBN 2025 tidak akan terlalu leluasa karena harus bersaing dengan kebutuhan membayar utang yang jatuh tempo.
BACA JUGA:5 Aplikasi Smartphone yang Bisa Menambah Cuan di DANA: Dapatkan Penghasilan Tambahan dengan Mudah!
Risiko Tinggi dan Perbandingan dengan Negara Tetangga
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memberikan gambaran yang lebih detail tentang risiko yang dihadapi Indonesia.
Ia mencatat bahwa Debt Service Ratio (DSR) Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 44,6 persen, dengan potensi melampaui 50 persen pada 2026—jauh di atas batas aman 25-30 persen.
Sebagai perbandingan, DSR Malaysia hanya 16 persen, dengan bunga surat utang negara 10 tahun sebesar 3,79 persen, jauh lebih rendah dari Indonesia.
"Indonesia menghadapi risiko suku bunga yang lebih tinggi untuk menarik minat pasar pada Surat Utang Negara (SUN). Ini disebabkan oleh DSR yang tinggi, strategi penerbitan utang yang kurang efektif, serta beban tersembunyi pemerintah seperti penundaan komitmen ke PLN dan Pertamina, potensi pembayaran restitusi yang membengkak, dan utang BUMN yang berpotensi bermasalah," jelas Wijayanto.