REL,EMPATLAWANG.BACAKORAN.CO.ID – Setelah resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto akan memikul tanggung jawab besar, tidak hanya dalam meneruskan cita-cita pembangunan bangsa, tetapi juga menghadapi kenyataan pahit berupa utang jumbo yang diwariskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dengan nilai yang mengejutkan, utang pemerintah pada semester pertama 2024 telah mencapai Rp8.444,87 triliun, setara dengan 39,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Meski rasio ini masih di bawah batas aman 60 persen yang diatur oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beban ini akan sangat terasa pada tahun pertama pemerintahan Prabowo.
Pada tahun 2025, Prabowo akan dihadapkan dengan kewajiban pembayaran utang yang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun.
Rincian pembayaran ini meliputi Rp705,5 triliun dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp94,83 triliun dari pinjaman.
Tidak hanya itu, bunga utang yang harus dibayarkan mencapai Rp552,85 triliun, sehingga total beban di tahun pertama mencapai Rp1.353,1 triliun—sebuah rekor baru dalam sejarah Indonesia.
BACA JUGA:Daftar Terbaru Mobil dan Motor yang Masih Bisa Isi Pertalite Setelah Pembatasan BBM Subsidi
BACA JUGA:Pemerintah Meluncurkan Program Konversi Sepeda Motor Listrik Gratis per Agustus 2024
Beban Berat di Tengah Ambisi Program Unggulan
Prabowo telah merencanakan sejumlah program unggulan untuk masa kepemimpinannya, termasuk makan siang bergizi gratis bagi anak-anak sekolah.
Namun, dengan beban utang yang begitu besar, para pengamat khawatir bahwa program-program ini akan terkendala, bahkan mungkin tertunda.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menyatakan bahwa utang yang diwariskan Jokowi akan menjadi tantangan besar bagi APBN di era Prabowo.
"Beban utang dan bunga utang yang tinggi ini sudah memberikan lampu kuning. Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menambah utang baru ke depan," ujarnya.
Misbah juga menyoroti efektivitas penggunaan utang di masa lalu, yang menurutnya belum sepenuhnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat atau pertumbuhan ekonomi yang signifikan.