Disita Uang Tunai hingga Alat Elektronik
REL, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat mengumpulkan alat bukti dalam mengungkap kasus dugaan suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur (Jatim). Kali ini, KPK menggeledah rumah dinas Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar di Jakarta, pada Jumat (6/9) pekan lalu.
"Iya, pada Jumat 6 September 2024, penyidik KPK melakukan kegiatan penggeledahan terhadap salah satu rumah dinas penyelenggara negara berinisial AHI di wilayah Jakarta Selatan," kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika, Selasa (10/9).
Diakuinya, KPK berhasil mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait dengaan kasus dugaan suap dana hibah ini. Di antaranya, uang tunai dan barang bukti elektronik. Namun, Tessa belum membeberkan nominal uang tunai yang disita. "Dari penggeledahan tersebut, penyidik melakukan penyitaan berupa uang tunai dan barang bukti elektronik," ucap Tessa.
Ia juga mengatakan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar telah dilakukan periksa penyidik KPK, Kamis (22/8). Usai menjalani pemeriksaan, Halim Iskandar mengaku didalami soal pengelolaan dana hibah di Pemprov Jatim.
BACA JUGA:Usulkan Nama Pimpinan Dewan
BACA JUGA:Tandatangani Perjanjian Kerjasama PBJT-TL
"Seperti yang sampaikan tadi, saya dimintai keterangan oleh penyidik KPK terkait dengan permasalahan dana hibah di Jawa Timur. Semua sudah saya jelaskan clear, terserah pihak penyidik, jadi, semua sudah saya sampaikan," ucap Abdul Halim Iskandar usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/8).
Abdul Halim Iskandar membantah pemeriksaannya dalam kasus itu, karena dirinya pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Jawa Timur periode 2014-2019. "Pokoknya waktu urusan Jawa Timur-lah. Kan, bisa DPRD, bisa setelahnya, bisa macam-macam," ucap Halim Iskandar.
Dalam pengusutan kasus ini, KPK juga telah menetapkan 21 orang sebagai tersangka. Ke-21 orang itu juga telah dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Mereka yang dicegah merupakan anggota DPRD dan pihak swasta, yang berlaku hingga enam bulan ke depan. (*)