RAKYATEMPATLAWANG — Ilmuwan terkemuka, Max Tegmark, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai bahaya nyata yang dihadapi akibat kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Dalam penjelasannya, Tegmark menyoroti bahwa banyak perusahaan teknologi besar cenderung menyembunyikan risiko yang menyertai perkembangan AI, yang dapat mengakibatkan penundaan dalam regulasi yang diperlukan.
Tegmark menjelaskan bahwa model AI yang mampu lulus uji Turing—di mana percakapan tidak bisa dibedakan dari percakapan dengan manusia—menandakan potensi kehilangan kendali atas teknologi ini.
BACA JUGA:Proyek RDMP Balikpapan: Kilang Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Energi Indonesia
BACA JUGA:Dihapus, Begini Nasib PNS Eks Kantor Luhut yang Akhirnya Terungkap!
Dia mencatat, para pionir AI seperti Geoffrey Hinton dan Yoshua Bengio, serta banyak CEO teknologi, kini merasa cemas akan dampak AI yang semakin mendekat.
Meskipun ada seruan untuk menghentikan penelitian AI tingkat lanjut selama enam bulan yang dipimpin oleh lembaga nirlaba Future of Life Institute, tidak ada kesepakatan yang dicapai di kalangan para pemimpin industri.
Tegmark menekankan perlunya transisi dari diskusi menuju tindakan konkret.
BACA JUGA:3 Keuntungan Membuka Tabungan BRI Simpedes Usaha bagi Pengusaha Mikro
Ia menekankan bahwa fokus regulasi harus kembali pada risiko eksistensial yang dihadapi, dan bukan hanya pada isu-isu hipotetis yang mungkin terjadi di masa depan.
Kritikan Tegmark mencerminkan kekhawatiran bahwa industri lebih suka membahas potensi ancaman di masa depan daripada risiko nyata yang sudah ada saat ini, seperti bias dalam algoritma yang merugikan kelompok-kelompok tertentu.
"Meski ada keinginan untuk menghentikan perkembangan AI, banyak perusahaan merasa terjebak dan tidak bisa melakukannya," tambah Tegmark.
BACA JUGA:BRI Luncurkan Fitur QRIS Transfer di BRImo, Transaksi Antar Rekening Kini Lebih Mudah dan Aman
BACA JUGA:BRI Dorong Perluasan Jaringan Pemasaran Klaster Usaha Manggis di Bali Melalui Program Pemberdayaan