Oleh: Dahlan Iskan
BARU di Pemilu ke-4 di masa Pak Harto saya ikut nyoblos. Tiga Pemilu sebelumnya saya selalu Golput –istilah yang dipopulerkan oleh Arief Budiman sebagai gerakan anti Pemilu yang pemenangnya sudah diatur.
Di Pemilu ke-4 itu, 1987, saya pun sebenarnya ingin Golput lagi. Karena itu saya tidak mendaftar sebagai pemilih. Ketika daftar nama pemilih sementara diumumkan tidak ada nama saya. Pun ketika daftar pemilih tetap diumumkan.
Tiba-tiba saya dipanggil Pak Moh Said, ketua DPD Golkar Jatim yang legendaris. Ia kolonel TNI-AD. Pejuang kemerdekaan. Selalu merokok pakai pipa. Orangnya sederhana tapi berwibawa. Tinggi. Besar. Selalu serius. Beliau orang intelijen.
''Ada apa ya?'' tanya saya pada diri sendiri.
BACA JUGA:TPS di Pagaralam Gunakan Tema Hajatan Pernikahan
BACA JUGA:H Joncik Muhammad Nyoblos di TPS 7 Desa Sawah
Di masa sebelumnya saya punya pengalaman pahit dengan beliau. Saya pernah dimarahi habis-habisan. Empat mata. Di salah satu kantornya di Taman Chandra Wilwatikta, Pandaan.
Belum ada jalan tol menuju Pandaan. Saya harus datang menghadap beliau –di jarak 50 km dari kantor Jawa Pos Surabaya.
Jawa Pos dinilai anti-Golkar. Saya harus mempertanggungjawabkannya.
Menghadapi orang Jawa seperti beliau saya tahu cara bersikap yang terbaik: diam. Tidak membantah. Tidak perlu menjelaskan. Diam. Dengarkan sungguh-sungguh. Pasang mimik pasrah. Jangan muka acuh atau merengut.
BACA JUGA:Camat Sikap Dalam Pantau TPS
Begitu pula ketika saya pernah dimarahi Gus Dur di Istana Presiden. Soal Jawa Pos juga.
Pun saat saya dimarahi Presiden SBY. Soal mengapa saya mengangkat dirut Bank Mandiri tanpa konsultasi.
Beliau marah lewat telepon. Panjang. Saya dengarkan sungguh-sungguh. Sama sekali tidak memotong pembicaraan beliau. Saya memang merasa bersalah: kok seberani itu. Saya tidak perlu menjelaskan mengapa sikap itu saya ambil. Biarlah beliau marah. Beliau memang berhak marah. Wajar sekali.