Dengan cara cerdas.
Bukan sekadar menyempitkan jarak tempat duduk seperti di pesawat merah di Indonesia.
Sekitar 20 tahun lalu saya juga mengalami hal baru: jurusan Hong Kong. Cathay Pacific. CX. Posisi kursinya dibuat mencong. Tidak menghadap ke depan. Tapi juga tidak menghadap ke samping atau ke belakang. Kursi itu menghadap ke sudut kira-kira 40 derajat. Kursinya tetap bisa dibuat flat tapi terasa lebih sempit. Saya masih bisa menerima. Ukuran badan saya masih bisa fleksibel.
Beberapa kali saya terbang dengan susunan kursi seperti itu. Tapi kreasi CX tersebut kelihatannya tidak membawa sukses. Dihentikan di situ. Tidak ada penerbangan lain yang meniru. CX sendiri terlihat tidak mengembangkannya ke pesawatnya yang lain.
Naskah ini saya tulis di pesawat jurusan Jakarta ke Abu Dhabi. Jam 04.00 waktu pesawat. Istri saya lagi terlelap di sebelah. Lengket dengan selimut tebalnyi. Saya naikkan penyekat otomatis yang memisahkan tempat tidurnyi dengan kursi saya.
Kalau pun mendadak terbangun dia tidak akan bisa marah melihat saya lagi menulis tentang dirinyi.
Tiba-tiba dia ketok-ketok dinding tipis penyekat itu.
''Kok ditutup?'' katanyi.
Saya pun mengakhiri tulisan ini.
Saya pun menurunkan pemisah tipis itu. Tinggal pijit tombol. Lebih mudah pijit tombol sekali daripada mengetuk tiga kali.
Soal tambahan nama tadi sebenarnya harus saya syukuri. Waktu kecil nama saya memang pakai Mochamad. Moch Dahlan. Dimulai dengan huruf M. Terlalu jauh di belakang. Kalau kata pertama D, jadinya di urutan keempat. Lalu, agar puitis, saya tambahkan nama bapak saya. Jadilah Dahlan Iskan.
Enam bulan lalu saya mendapat tamu: ahli hongsui terkait dengan logo dan nama. Ia mengatakan nama depan saya itu yang membuat saya gagal jadi calon presiden. Posisi huruf ''h'' yang di tengah itu penyebabnya.
Sang tamu menyarankan perbaikan nama. Ada dua cara: Dahlan diubah menjadi Dhalan. Atau: ditambah kata Mochamad di depannya. (DAHLAN ISKAN)