Karam Darat

--
Alih-alih membeli kapal kosong yang butuh bertahun-tahun untuk operasional, mereka memilih akuisisi
perusahaan yang sudah siap menghasilkan revenue hari itu juga. Dalam dunia startup, ini disebut
"buying traction." Dalam konteks BUMN Indonesia, ini disebut "dugaan korupsi."
Pertanyaannya kini: sanggupkah kita menciptakan sistem yang membedakan antara korupsi
sesungguhnya dengan strategic business risk-taking?
Bisakah kita memahami bahwa membayar premium untuk aset yang sudah produktif adalah hal wajar
dalam dunia bisnis, bukan otomatis mark-up koruptif?
Ataukah kita akan terus menjadi negara yang takut pada bayang-bayang sendiri, di mana setiap upaya
BUMN untuk bersaing secara serius berakhir di meja hijau?
Sebagaimana ungkapan Minang, "babuah babungo, indak babuah layu?" —berbuah berbunga, tidak
berbuah layu.
Kasus ASDP memaksa kita bertanya: apakah upaya BUMN untuk sustainable growth sambil menjalankan
misi sosial akan berbuah kemajuan, ataukah layu sebelum sempat mekar karena setiap inovasi bisnis
dianggap suspicious?
Jawabannya bukan hanya menentukan masa depan ASDP, tapi juga masa depan seluruh ekosistem