REL,BACAKORAN.CO - Usulan undang-undang yang mengatur usia pernikahan di Irak telah menimbulkan kontroversi luas di dalam dan luar negeri. Aturan ini, yang didorong oleh partai-partai Muslim Syiah ultra-konservatif, mendorong penurunan usia pernikahan sah bagi perempuan menjadi sembilan tahun baru. Langkah ini menuai kecaman dari para aktivis hak asasi manusia yang menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk legalisasi yang bertujuan untuk anak.
Berdasarkan laporan dari The Telegraph, proposal ini telah melewati pembacaan kedua di parlemen Irak pada 16 September 2024. Jika disetujui, Irak akan menjadi negara dengan usia pernikahan terendah di dunia, di bawah Iran yang diberlakukan usia minimal 13 tahun.
BACA JUGA:Presiden Prabowo Bentuk Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan, Dipimpin Sri Mulyani
BACA JUGA:4 Minuman dengan Kandungan Purin Tinggi yang Sebaiknya Dihindari untuk Cegah Asam Urat
Perubahan ini adalah bagian dari revisi besar pada “Undang-Undang Status Pribadi” atau dikenal sebagai Undang-Undang 188, yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu hukum paling progresif di Timur Tengah terkait hak-hak perempuan. Undang-undang baru ini juga akan mencabut hak-hak perempuan untuk bercerai, memperoleh hak asuh atas anak, dan menerima warisan. Aktivis dan kelompok pembela hak perempuan mengecam proposal keras ini, menilai bahwa jika disetujui, akan berdampak buruk terhadap kebebasan dan kesejahteraan perempuan di Irak.
Kecaman dari Aktivis dan Masyarakat Sipil
Razaw Salihy, seorang peneliti Amnesty International di Irak, memperingatkan dampak merugikan dari usulan ini. “Anggota parlemen Irak harus mempertimbangkan peringatan dari masyarakat sipil tentang dampak buruk dari amandemen ini,” tegasnya. Menurutnya, undang-undang ini membuka jalan bagi pernikahan anak dan mencabut perlindungan hukum bagi perempuan dan anak perempuan dalam masalah perceraian dan warisan.
BACA JUGA:Pindad Belum Produksi Lokal Semua Komponen Maung, Mesin dan Transmisi Masih Impor
BACA JUGA:Anaknya Didorong hingga Terjatuh, Motor Argianto Dirampas saat COD
Raya Faiq, seorang aktivis yang aktif dalam koalisi penentang perubahan hukum ini, menyebutnya sebagai “bencana bagi perempuan.” Menurut Faiq, undang-undang ini akan memungkinkan menantu laki-laki untuk menikahkan cucu perempuan mereka saat masih menjadi anak-anak tanpa izin dari keluarga lain, yang dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap perempuan.
Tujuan Politik di Balik Undang-Undang
Menurut Dr. Renad Mansour, seorang peneliti senior di Chatham House, dorongan untuk meloloskan undang-undang ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi ideologi bagi partai-partai Syiah tertentu yang memimpin upaya ini. Namun, ia menyebut bahwa tidak semua partai Syiah mendukung perubahan ini, melainkan hanya partai-partai tertentu yang merasa memiliki momentum untuk meloloskannya.
BACA JUGA:Main Game, Dapat Saldo DANA! Begini Caranya Mendapatkan Uang Tambahan Secara Mudah
BACA JUGA:Mengenal 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah yang Menginspirasi Indonesia
Reaksi Internasional dan Upaya Penanggulangan