Indonesia memiliki blessing in disguise yang aneh: kita punya BUMN-BUMN yang powerful dan strategis,
namun sistem pengawasan yang paranoid terhadap setiap langkah bisnis mereka.
ASDP adalah contoh sempurna dari paradoks ini—mereka dituntut untuk profitable, tapi setiap
keputusan bisnis yang berani dianggap mencurigakan.
Akibatnya, BUMN kita menjadi seperti atlet yang dipaksa jadi juara dunia tapi diwajibkan berlari sambil
menggendong karung beras 50 kilo.
Tugas ganda ASDP—mencari keuntungan di rute komersial untuk menyubsidi rute perintis—adalah misi
impossible yang tidak pernah dihadapi kompetitor swasta.
Bayangkan Anda harus bersaing dalam balap mobil, tapi Anda wajib berhenti di setiap pos untuk
membagikan makanan gratis, sementara pesaing lain boleh ngebut tanpa beban apapun. Itulah realitas
BUMN pelayaran di Indonesia.
Bandingkan dengan Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia. Sovereign wealth fund ini
berinvestasi dengan agresif, mengambil risiko tinggi, melakukan akuisisi besar-besaran, dan kadang
mengalami kerugian—tanpa direksi mereka langsung masuk bui. Kenapa? Karena ada pemahaman
bahwa calculated risk adalah bagian dari permainan bisnis. Kerugian adalah tuition fee untuk
pembelajaran, bukan automatically criminal offense.