Ketika ada seseorang pejabat tinggi yang terbukti korup di Garuda Indonesia merancang sebuah
transaksi dengan skema yang jelas merugikan negara, ia diganjar hukuman, fair! Tapi ketika para direksi
ASDP mencoba transformasi dengan me-manage risiko yang tinggi—dan kemudian dituduh merekayasa
valuasi—apakah ini korupsi ataukah kegagalan sistem hukum dalam melihat sebuah proses pengambilan
keputusan di dalam sebuah bisnis?
Di Jepang, ketika CEO Nissan Carlos Ghosn dituduh financial misconduct, fokusnya adalah pada
transparency dan corporate governance.
Di Indonesia, setiap langkah transformasi BUMN selalu dinaungi bayang-bayang pidana korupsi.
Hasilnya? Para profesional terbaik enggan memimpin BUMN, dan yang tersisa adalah mereka yang
bermain aman dengan status quo—atau mereka yang memang berniat korup dari awal.
Si Kabayan dan Harta Karun yang Siap Pakai
Para direksi ASDP tidak bermimpi tentang transformasi kosong. Mereka sudah bisa berhitung:
mengakuisisi PT Jembatan Nusantara berarti mendapat 53 kapal yang sudah beroperasi, sudah
menghasilkan revenue, sudah punya izin trayek yang sulit didapat.
Bandingkan jika mereka membeli 53 kapal kosong—butuh berapa tahun untuk mengurus izin? Berapa
besar biaya opportunity cost selama kapal nganggur? Berapa risiko izin tidak keluar?