ASDP bukan sekadar perusahaan pelayaran biasa—ia adalah Atlas yang harus menopang dua dunia
sekaligus.
Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan operator swasta yang bebas memilih rute profitable.
Di sisi lain, mereka harus menjalankan rute perintis ke daerah 3T yang pasti merugi, karena itu adalah
amanah negara untuk pemerataan akses transportasi.
Bayangkan, menjalankan bisnis di mana setiap bulan Anda harus memproduktifkan rute Merak-
Bakauheni yang menguntungkan untuk menutup kerugian rute ke Pulau Weh, Morotai, atau Sabang
yang penumpangnya seadanya.
Pesaing swasta? Mereka cukup mengambil rute yang manis-manis saja.
Dalam kondisi seperti ini, akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan 53 kapalnya bukan sekadar ambisi
ekspansi—ini adalah strategi survival yang masuk akal. Bukan membeli kapal kosong yang masih harus
mengurus izin trayek bertahun-tahun, melainkan mengakuisisi perusahaan yang sudah memiliki izin
operasi lengkap. Artinya: revenue bisa langsung mengalir hari ini juga, bukan tahun depan atau tahun
lusa setelah birokrasi selesai.
Perbedaannya seperti membeli warung Padang yang sudah jadi versus membeli kompor dan beras
untuk buka warung baru. Yang pertama, besok sudah bisa jualan nasi Padang. Yang kedua, masih harus