No Day
Dahlan Iskan ketika berkunjung ke rumah Veddriq Leonardo.--
Begitu turun dari jembatan kembar Kapuas 1, di lampu bang-jo pertama, kami belok kanan. Lurus. Setengah kilometer. Lalu belok kanan lagi. Belok kiri. Belok kanan.
Setelah belok kiri lagi ketemu tanah kosong seluas seperempat lapangan bola. Penuh anak-anak yang ikut lomba tujuh belasan.
Di dekat lomba itu ada seporong gang. Kami jalan kaki masuk ke gang itu. Gang Harapan. Mobil diparkir di pinggir jalan kampung itu: Jalan Tanjung Harapan. Di kampung Kapur, Kelurahan Banjar Serasan.
Di ujung gang Harapan itulah, di dekat sungai, rumah Sumaryanto berada.
Sumaryanto adalah ayahanda peraih medali emas itu. Ia asal Jepara, Jateng. Sumaryanto merantau ke Pontianak saat masih berusia 16 atau 17 tahun.
Di Jepara, Sumaryanto hanya tamat SMP. Ayahnya buruh tani. Setamat SMP, Sumaryanto bekerja di rumah milik pengrajin ukiran kayu. Ia pun menjadi mahir dalam ukir-mengukir. "Bakat alam," jawab Sumaryanto. Saya memang bertanya siapa yang jadi mentor ukirnya.
Lalu remaja Sumaryanto menjual sepedanya. Ia beli tiket kapal kayu dari Semarang menuju Pontianak. Itu tahun 1980-an. Ia dapat kenalan orang Pontianak asal Solo. Orang Solo itulah yang menampungnya sementara di Pontianak.
Begitu mulai dapat order ukiran, Sumaryanto cari kontrakan rumah sendiri. Namanya pun semakin terkenal sebagai orang yang ahli ukir. Mulailah banyak order dari rumah-rumah orang berpunya di Pontianak.
Di depan rumah kontrakannya itu sering ada pelajar putri yang lewat. Ia jatuh cinta pada salah satu gadis itu. Anak tetangga. Namanya: Rosita –seorang gadis Melayu berkerudung. Sumaryanto pun berhasil mengukirkan cinta di hati Rosita.
Anak pertama mereka perempuan. Yang kedua pun wanita. Sumaryanto sangat menginginkan anak laki-laki. Rosita diminta melahirkan terus. "Kalau perlu sampai tujuh anak," gurau Sumaryanto. Sampai lahir anak laki-laki.
Anak ketiganya ternyata laki-laki.
Saat itu Sumaryanto lagi senang-senangnya sepak bola. Tim pujaannya adalah Brasil. Maka ia pun menamakan anaknya dengan nama pemain bola Brasil: Veddriq Leonardo.
Sang istri agak ragu dengan nama itu. Tidak lazim orang Melayu punya nama seperti itu. "Kok namanya seperti orang bule?" tanya sang istri. "Apakah tidak apa-apa?" tambahnya.
"Hanya nama. Tidak apa-apa," jawab Sumaryanto.
Dua tiga kali Rosita menanyakan kemantapan sang suami atas pilihan nama Veddriq Leonardo. Tapi Sumaryanto menjawab: sudah mantap.