Timah Sederhana
Timah Sederhana.--
Saya kasihan kepada teman saya yang intelektual murni: Dr Fachry Ali. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pemikir. Lulusan Australia. Seumur hidupnya jadi pemikir Islam yang hebatnya luar biasa. Lalu entah bagaimana Fachry bisa menjabat komisaris utama PT Timah. Tepat di saat kerja sama antara swasta dan PT Timah itu ditandatangani. Saya membayangkan bagaimana Fachry harus mengkaji dokumen kerja sama itu. Yang kalau sangkaan Kejaksaan Agung benar, begitu penuh trik dan rekayasa.
Padahal komut harus memberikan persetujuan sebelum dirut menandatangani perjanjian bisnis sebesar itu.
Tentu Fachry punya kecerdasan yang tinggi. Juga punya logika yang kuat. Dibantu pula tim komite audit dewan komisaris. Tapi Fachry terlalu polos untuk mendalami segala jenis udang di balik peyek. Apalagi di antara udang itu ada pula kepitingnya.
BACA JUGA:Kisah Rosdiana Tinggal di Gubuk Belakang Rumah, Tim dinsos empat lawang beramal Lakukan Kunjunga
BACA JUGA:3 Kebaikan Puasa bagi Diabatesi yang Menjalaninya
Sejak tulisan saya terbit di Disway kemarin, begitu banyak telepon dan kiriman dokumen ke HP saya. Banyak juga yang menyebut RBT. Saya kita itu ring back tone. Ternyata nama orang: mengapa ia belum ditangkap.
Tentu saya tidak bisa menjawab. Saya lagi ke lokasi 100 kilometer dari kota Meizhou.
Inti banyak kiriman itu: seluruh penambang ilegal di konsesi PT Timah dipersilakan terus menambang. Bahkan bisa meningkatkan hasilnya. Harus dikirim ke smelter ''PT Timah''. Hasil timahnya pun menjadi seperti bayi yang baru lahir: sudah bersih dari dosa ilegal. Sudah bisa disebut timah produksi resmi PT Timah.
Penambang ilegal itu harus dibayar. Swasta itu yang membayar. Angkutannya harus dibayar. Swasta pula yang membayar.
Untuk memproses di smelter PT Timah yang membayar: ke swasta sebagai pemilik mesin smelter.
Ongkos memproses timah inilah yang jadi persoalan: mahal sekali. Angka-angkanya belum keluar di media. Pokoknya: sangat mahal. Tidak wajar. Begitu berita yang tersiar.
Tentu direksi akan menjawab: harga itu wajar. Pun ketika direksi mengajukan permohonan persetujuan ke dewan komisaris.
Permohonan itu pasti sudah dilengkapi berbagai macam dokumen pembenar. Juga dilengkapi hasil kajian. Yang semuanya menyebutkan harga itu wajar. Juga menguntungkan PT Timah.
Mungkin juga akan dipersoalkan: mengapa tidak ditenderkan. Atau jangan-jangan sudah ada tender –apa pun bentuk tendernya. Atau sudah lewat pemilihan langsung –yang juga diakui sebagai salah satu bentuk tender.
Maka intinya adalah: berapa harga yang harus dibayar PT Antam untuk memproses timah ilegal tersebut. Lalu siapa yang harus menilai harga itu wajar atau tidak. Juga soal tender tadi.